Great products quality, but obsolete business model: planned obsolescence vs business ethics
Ibarat kata sebuah paradoks, brand yang punya produk bagus, tapi selling sekali seumur hidup malah tidak ada keberlanjutan. Sementara brand-brand yang bermain di business model "planned obsolescence" justru bertahan dg agak "memaksa" konsumen untuk terus berkonsumsi dlm jangka waktu lama
Pun, inovasi ini terkadang bukan murni inovasi atau penemuan (invention) baru, mungkin mendaur ulang kembali dari solusi yg sudah ada lalu dibalut dg model bisnis yg lebih "ciamik", jadilah penawaran solusi lama dlm kemasan baru untuk mengatasi beragam problema hidup manusia
Conversation
Notices
-
Al Farauqi (alfarauqi@misskey.id)'s status on Wednesday, 18-Sep-2024 08:14:00 JST Al Farauqi - Niko :lyrical_lily: likes this.
-
Niko :lyrical_lily: (niko@jir.moe)'s status on Wednesday, 18-Sep-2024 08:14:10 JST Niko :lyrical_lily: @alfarauqi anything to please the profit god -
Niko :lyrical_lily: (niko@jir.moe)'s status on Wednesday, 18-Sep-2024 22:13:28 JST Niko :lyrical_lily: @alfarauqi Aku suka menggunakan analogi "god" :jesus: sebagai suatu eksterioritasーsebagai pengingat kalau para pemilik modal tidak serta-merta rakus (apalagi "kapitalis jahat xd"), tetapi bergerak untuk melayani eksterioritas ini .
Di sisi lain, model bisnis seperti itu juga bisa dilihat dari sisi konsumen dan seberapa jauh mereka sudah terintegrasi dengan sistem. Semakin terintegrasi, semakin tinggi ketergantungannya pada produk aneh dan kebutuhan artifisial , yang pada waktu bersamaan rasa ketergantungan ini kabur justru karena integrasinya. Pengaburan ini tentunya lebih kuat di kalangan labor aristocracy yang mendapatkan keuntungan dari imperialisme (atau bahkan "imperialisme" lokal: jawa mengeksplotasi papua), di mana standar hidup yang mereka punya membuat mereka tidak seteralienasi itu. Apa gila kalau bilang mereka lebih "untung" dengan integrasi mereka dengan sistem? Mereka bukan "kaum yang terhina".